Guru ngaji didenda puluhan juta oleh wali muridnya sendiri.
Konon berita heboh datang dari Demak. Videonya pun kini viral, kiai kampung tak berdaya itu, terlihat meneken surat perjanjian yang disodorkan.
Sungguh guncangan batin yang tak berkesudahan, ditambah kebijakan yang semakin lama tidak berpihak padanya.
Sebagai santri yang pernah diajar iqro dan “turutan” sewaktu kecil. Saat-saat di mana kita merajut kenangan yang takkan tergantikan indahnya oleh apapun. Mendengar kisah pilu itu pasti sangat-sangat menyakitkan dan menyayat hati.
Dari kejauhan begitulah permukaan buih-buih kepahitan hidup seorang kiai kampung. Dari sini saya hanya bisa mendengar dan menyimak. Saya tidak terlalu paham dan mengerti kronologi kejadiannya. Tetapi terlepas dari sebab-akibat atau kesalahan dari kejadian tersebut. Janganlah kita memperlakukan guru ngaji seperti itu: mempermalukan di depan umum.
Dari sisi kacamata jasa dan perjuangan seorang kiai kampung atau guru ngaji, peristiwa itu sungguh menusuk dari belakang.
Entahlah saya belum melihat alasan dari wali murid itu, apakah gerangan orang tua murid itu, sehingga terpaksa mengambil langkah yang memberatkan. Pastinya guru itu telah berlaku yang tidak bisa dimaafkan. Menurut dia. Barang kali.
Kalau boleh jujur, dari permukaan berita itu, saya juga turut mempersalahkan wali murid tersebut. Terbuat dari apa model manusia itu, ko tega sekali.
Namun, saya lebih curiga, jangan-jangan ini adalah dampak dari sistem kebijakan yang dibuat pemerintah itu: yang setengah hati berbagi anggaran untuk upah guru ngaji. Sudah separah itukah sistem pendidikan kita ini, sehingga akhlak dan etika kurang dikedepankan.
Atau jangan-jangan ada intimidasi yang dilakukan masyarakat setempat kepada wali murid itu. Bisa saja. Intimidasi apa? yah bisa saja, pembulian kolektif yang lama mengkristal.
Intinya, kita telusuri dulu. Apa gerangan? Siapa sebenarnya yang patut dipersalahkan? Bagaimana kronologinya? Tidak mungkin ada asap tanpa ada api.
Panas iya, marah iya, pilu iya, tetapi hati kecil harus tetap: selidiki, cari sumber yang valid.
Penulis.
Syeikhu Ahmad
Leave a Reply